BAB 1
PENDAHULUAN
A.
Latar
belakang
Banyak definisi yang
menjelaskan makna CSR. Bagaimanapun, makna CSR terus berubah seiring
berjalannya waktu (Melling and Jensen 2002). Ketika sebuah keluarga atau
pemilik usaha menjalankan bisnis, Program CSR dihubungkan dengan charity –
sumbangan atau kedermawanan – philanthropy corporate. CSR (Corporate Social Responsibility) adalah suatu tindakan
atau konsep yang dilakukan oleh perusahaan (sesuai kemampuan perusahaan
tersebut) sebagai bentuk tanggungjawab mereka terhadap sosial/lingkungan
sekitar dimana perusahaan itu berada. Contoh bentuk tanggungjawab itu
bermacam-macam, mulai dari melakukan kegiatan yang dapat meningkatkan
kesejahteraan masyarakat dan perbaikan lingkungan, pemberian beasiswa untuk
anak tidak mampu, pemberian dana untuk pemeliharaan fasilitas umum, sumbangan
untuk desa/fasilitas masyarakat yang bersifat sosial dan berguna untuk
masyarakat banyak, khususnya masyarakat yang berada di sekitar perusahaan
tersebut berada.Corporate Social Responsibility (CSR) merupakan fenomena
strategi perusahaan yang mengakomodasi kebutuhan dan kepentingan
stakeholder-nya. CSR timbul sejak era dimana kesadaran akan sustainability
perusahaan jangka panjang adalah lebih penting daripada sekedar profitability.
Kebijakan ini juga mengatur sanksi bagi perusahaan yang tidak
menjalankan kewajiban tersebut. Kedua undang-undang tersebut mengatur bahwa
setiap perseroan atau penanam modal diwajibkan untuk melakukan sebuah upaya
pelaksanaan tanggung jawab perusahaan (CSR).Banyak data yang mencatat usaha
perusahaan yang berkontribusi dalam pembangunan fisik maupun sosial melalui
program CSR nya.CSR adalah bagian dari public relations (PR) .Sebelumnya
kegiatan public relation yang bertujuan untuk membentuk dan memelihara hubungan
dengan komunitas disebut community relations (hubungan komunitas) dan community
development (pemerdayaan masyarakat ) .
Perkembangan paling mukhtahir CSR di indonesia adalah masuknya
tanggung jawab sosial dan lingkungan dalam pasal 7A Undang-Undang Perseroan
Terbatas (PT) .Dengan adanya pasal tersebut
maka indonesia merupakan negara pertama di dunia yang mewajibkan CSR
bagi perusahaan.Sementara di banyak negara,kewajiban ini hanya menyangkut laporan
dampak sosial dan lingkungan serta kinerja perusahaan dalam mengelola dampak tersebut.Setelah
Indonesia melakukan hal tersebut,beberapa bulan kemudian disusul oleh
Inggris.Bahkan Amerika Serikat dewasa ini sedang mendiskusikan juga pembuatan
bill yang memuat kewajiban melaksanakan CSR bagi perusahaan.
B.
Rumusan
Masalah
1.
Bagaimana
awal munculnya CSR ?
2.
Bagaimana
manfaat dan tujuan CSR bagi perusahaan ?
C.
TUJUAN
1.
Mengetahui awal munculnya CSR.
2.
Mengetahui
manfaat dan tujuan CSR bagi perusahaan.
BAB II
PEMBAHASAN
1.
Awal
munculnya CSR
Konsep Tanggung Jawab Sosial Perusahaan (CSR) tidak terlepas dari
waktu dan telah menjadi pemikiran para pembuat kebijakan sejak lama. Bahkan
dalam Kode Hammurabi (1700-an SM) yang berisi 282 hukum telah memuat sanksi
bagi para pengusaha yang lalai dalam menjaga kenyamanan warga atau menyebabkan
kematian bagi pelanggannya. Dalam Kode Hammurabi disebutkan bahwa hukuman mati
diberikan kepada orang-orang yang menyalahgunakan izin penjualan minuman,
pelayanan yang buruk dan melakukan pembangunan gedung di bawah standar sehingga
menyebabkan kematian orang lain. Perhatian para pembuat kebijakan terhadap CSR
menunjukkan telah adanya kesadaran bahwa terdapat potensi timbulnya dampak
buruk dari kegiatan usaha. Dampak buruk tersebut tentunya harus direduksi
sedemikian rupa sehingga tidak membahayakan masyarakat sekaligus tetap ramah
terhadap iklim usaha. Latar belakang
lahirnya CSR dapat dibagi atas 3 periode penting,yaitu :
1)
Perkembangan
Awal Konsep CSR di era tahun 1950-1960-an
Sebenarnya jika diperhatikan di dalam sejumlah literatur tidak ada
yang dapat memastikan kapan mulai dikenalnya atau munculnya CSR itu. Namun di
dalam banyak literatur banyak yang sepakat bahwa karya Horward Bowen yang
berjudul Social Responsibilities of the Businessman yang terbit pada
tahun 1953 merupakan tonggak sejarah CSR Modern. Di dalam karyanya ini, Bowen
memberikan definisi awal dari CSR sebagai “it refers to the obligations of
the businessmen to pursue those policies, to make those decisions, or to follow
those lines of actions which are desirable in terms of the objectives and
values of our society”. Definisi tanggung jawab sosial yang diberikan oleh
Bowen telah memberi landasan awal bagi pengenalan kewajiban pelaku bisnis untuk
menetapkan tujuan bisnis yang selaras dengan tujuan dan nilai-nilai masyarakat.
Pada saat Bowen menulis buku ini, terdapat dua hal yang kiranya perlu
diperhatikan mengenai CSR pada saat itu. Pertama, Bowen menulis buku tersebut
pada saat di dunia bisnis belum mengenal bentuk perusahaan korporasi. Kedua,
judul buku Bowen pada saat itu masih menyiratkan bias gender (hanya menyebutkan
businessmen bukan businesswomen), karena pada saat itu pelaku
bisnis di Amerika masih didominasi oleh kaum lelaki. Walaupun judul dan isi
buku Bowen ini masih bias gender namun sejak penerbitan buku Bowen ini,
memberikan pengaruh yang besar terhadap buku-buku CSR yang terbit sesudahnya
sehingga banyak yang sepakat untuk menyebut Bowen sebagai Bapak CSR.
Selanjutnya pada tahun 1960, banyak usaha yang dilakukan untuk memberikan
formalisasi definisi CSR dan salah satu akademis yang dikenal pada masa itu
adalah Keith Davis. Keith Davis menambahkan dimensi lain tanggung jawab sosial
perusahaan, pada saat itu ia merumuskan tanggung jawab sosial sebagai, “businessmen’s
decision and actions taken for reasons at least partially beyond the firm’s
direct economic and technical interest”. Melalui definisi tersebut, Davis
menegaskan adanya tanggung jawab sosial perusahaan di luar tanggung jawab
ekonomi semata-mata. Argumen Davis menjadi sangat relevan karena pada masa
tersebut, pandangan mengenai tangung jawab sosial perusahaan masih sangat
didominasi oleh pemikiran para ekonom klasik. Pada saat itu, ekonom klasik
memandang para pelaku bisnis memiliki tanggung jawab sosial apabila mereka
berusaha menggunakan sumber daya yang dimiliki perusahaan seefisien mungkin
untuk menghasilkan barang dan jasa yang dibutukan oleh masyarakat pada kisaran
harga yang dapat terjangkau oleh masayarakat konsumen, sehingga masyarakat
bersedia untuk membayar harga barang tersebut. Bila hal tersebut berjalan
dengan baik, maka perusahaan akan memperoleh keuntungan maksimum sehingga
perusahaan bisa melanjutkan tanggung jawab sosialnya kepada masyarakat (yakni
menghasilkan barang pada tingkat harga yang rasional, menciptakan lapangan
kerja, memberikan keuntungan bagi faktor-faktor produksi, serta memberi
kontribusi pada pemerintah melalui pembayaran pajak). Pada saat itu, konsep ini
telah mengakibatkan sebagian orang yang terlibat dalam aktivitas bisnis maupun
para teoritis ekonomi klasik menarik kesimpulan bahwa satu-satunya tujuan
perusahaan adalah meraih laba semaksimal mungkin, serta menjalankan operasi
perusahaan sesuai dengan hukum dan undang-undang yang berlaku. produksi, serta
memberi kontribusi pada pemerintah melalui pembayaran pajak). Pada saat itu,
konsep ini telah mengakibatkan sebagian orang yang terlibat dalam aktivitas
bisnis maupun para teoritis ekonomi klasik menarik kesimpulan bahwa
satu-satunya tujuan perusahaan adalah meraih laba semaksimal mungkin, serta
menjalankan operasi perusahaan sesuai dengan hukum dan undang-undang yang
berlaku. Setelah itu Davis memperkuat argumennya dan ia berhasil memberikan
pandangan yang mendalam atas hubungan antara CSR dengan kekuatan bisnis. Davis
menegaskan adanya “Iron Law of Responsibility” yang menyatakan “social
responsibilities of businessmen need to be commensurate with their social
power…..then the avoidance of social responsibility leads to gradual erosion of
social power.” Davis menegaskan adanya tanggung jawab sosial para pelaku
bisnis akan sejalan dengan kekuasaan sosial yang mereka miliki…..oleh
karenanaya bila pelaku usaha mengabaikan tanggung jawab sosialnya maka hal ini
bisa mengakibatkan merosotnya kekuatan sosial perusahaan. Argumen-argumen yang
dibangun oleh Davis menjadi cikal bakal bagi identifikasi kewajiban perusahaan
yang akan mendorong munculnya konsep CSR di era tahun 1970-an. Selain itu
konsepsi Davis mengenai “Iron Law of Responsibility” menjadi acuan bagi
pentingnya reputasi dan legitimasi publik atas keberadaan suatu perusahaan.
Berkembangnya konsep tanggung jawab sosial di era tahun 1950-1960 tidak
terlepas dari pemikiran para pemimpin perusahaan yang pada saat itu menjalankan
usaha mereka dengan mengindahkan prinsip derma (charity principle) dan
prinsip perwalian (stewardship principle). Prinsip derma yang dimaksud
di sini adalah para pelaku bisnis telah melakukan berbagai aktivias pemberian
derma (charity) yang sebagai besar berasal dari kesadaran pribadi
kepemimpinan perusahaan untuk berbuat sesuatu kepada masyarakat. Semangat
berbuat baik kepada sesama manusia antara lain dipicu oleh nilai-nilai
spiritual yang dimiliki para pemimpin perusahaan kala itu. Nilai-nilai
tersebut, mendorong sebagian pelaku bisnis untuk melakukan kegiatan filantropis
di antaranya dalam bentuk derma atau sedekah. Sedangkan prinsip perwalian yaitu
bahwa perusahaan merupakan wali yang dipercaya oleh masyarakat untuk mengelola
berbagai sumber daya. Oleh karena itu, perusahaan harus mempertimbangkan dengan
seksama berbagai kepentingan dari para pemangku kepentingan yang dikenai dampak
keputusan dan praktik operasi perusahaan. Berdasarkan prinsip perwalian,
perusahan diharapkan untuk melakukan aktivias yang baik, tidak hanya untuk
perusahaan tetapi juga untuk lingkungan sekitarnya.
2) Perkembangan
Konsep CSR Periode Tahun 1970-1980-an
Tahun
1971, Committee for Economic Development (CED) menerbitkan Social
Responsibilities of Business Corporations. Penerbitan yang dapat dianggap
sebagai code of conduct bisnis tersebut dipicu adanya anggapan bahwa
kegiatan usaha memiliki tujuan dasar untuk memberikan pelayanan yang
konstruktif untuk memenuhi kebutuhan dan kepuasan masyarakat. CED merumuskan
CSR dengan menggambarkannya dalam lingkaran konsentris. Lingkaran dalam
merupakan tanggung jawab dasar dari korporasi untuk penerapan kebijakan yang
efektif atas pertimbangan ekonomi (profit dan pertumbuhan). Lingkaran
tengah menggambarkan tanggung jawab korporasi untuk lebih sensitif terhadap
nilai-nilai dan prioritas sosial yang berlaku dalam menentukan kebijakan mana
yang akan diambil. Lingkaran luar menggambarkan tanggung jawab yang mungkin
akan muncul seiring dengan meningkatnya peran serta korporasi dalam menjaga
lingkungan dan masyarakat. Tahun 1970-an juga ditandai dengan pengembangan
definisi CSR. Dalam artikel yang berjudul Dimensions of Corporate Social
Performance, S. Prakash Sethi memberikan penjelasan atas perilaku korporasi
yang dikenal dengan social obligation, social responsibility, dan social
responsiveness. Menurut Sethi, social obligation adalah perilaku
korporasi yang didorong oleh kepentingan pasar dan pertimbangan-pertimbangan
hukum. Dalam hal ini social obligation hanya menekankan pada aspek
ekonomi dan hukum saja. Social responsibility merupakan perilaku
korporasi yang tidak hanya menekankan pada aspek ekonomi dan hukum saja tetapi
menyelaraskan social obligation dengan norma, nilai dan harapan kinerja
yang dimiliki oleh lingkungan sosial. Social responsiveness merupakan
perilaku korporasi yang secara responsif dapat mengadaptasi kepentingan sosial
masyarakat. Social responsiveness merupakan tindakan antisipasi dan
preventif. Dari pemaparan Sethi dapat disimpulkan bahwa social obligation bersifat
wajib, social responsibility bersifat anjuran dan social
responsivenes bersifat preventif. Dimensi-dimensi kinerja sosial (social
performance) yang dipaparkan Sethi juga mirip dengan konsep lingkaran
konsentris yang dipaparkan oleh CED. Terdapat beberapa faktor yang sangat
berpengaruh terhadap perkembangan konsep CSR pada era tahun 1970-1980-an.
Pertama, periode awal tahun 1970-an merupakan periode berkembangnya pemikiran
mengenai manajemen para pemangku kepentingan. Hasil-hasil penelitian empiris menunjukkan
perlunya perusahaan untuk memerhatikan kepentingan para pemangku kepentingan
dalam keputusan-keputusan perusahaan yang akan memberikan dampak terhadap para
pemangku kepentingan. Kedua, perusahaan yang melaksanankan program CSR pada
periode 1970-1980 mulai mencari model CSR yang dapat mengukur dampak
pelaksanaan CSR oleh perusahaan terhadap masyarakat serta sejauh mana
pelaksanaan CSR sebagai suatu investasi sosial memberikan kontribusi bagi
peningkatan kinerja keuangan perusahaan. Kebutuhan ini telah mendorong lahirnya
konsep corporate social performance30sebagai penyempurnaan atau konsep
CSR sebelumnya. Ketiga, periode tahun 1980-an merupakan periode tumbuh dan
berkembangnya perusahaan multinasional (multinational corporation-MNC).
Para MNC beroperasi di berbagai negara yang memiliki kekuatan hukum dan
undang-undang yang berbeda dengan hukum dan undang-undang di negara asal
perusahaan MNC.
3) Perkembangan
Konsep CSR di Era Tahun 1990-an sampai Saat Ini
Tahun
1987, Perserikatan Bangsa-Bangsa melalui World Commission on Environment and
Development (WECD) menerbitkan laporan yang berjudul Our Common Future –
juga dikenal sebagai The Brundtland Report Commission untuk menghormati Gro
Harlem Brundtland yang menjadi ketua WECD waktu itu. Laporan tersebut menjadikan
isu-isu lingkungan sebagai agenda politik yang pada akhirnya bertujuan
mendorong pengambilan kebijakan pembangunan yang lebih sensitif pada isu-isu
lingkungan. Laporan ini menjadi dasar kerja sama multilateral dalam rangka
melakukan pembangunan berkelanjutan (sustainable development). Menurut
The Brutland Commisssion yang dimaksud dengan pembangunan berkelanjutan (sustainability
development) adalah pembangunan yang dapat memenuhi kebutuhan manusia saat
ini tanpa mengorbankan kemampuan generasi yang akan datang dalam memenuhi
kebutuhan mereka. manusia saat ini tanpa mengorbankan kemampuan generasi yang
akan datang dalam memenuhi kebutuhan mereka.
2. Manfaat
dan Tujuan CSR bagi perusahaan
Program
CSR sudah mulai bermunculan di Indonesia seiring telah disahkannya
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas dan Undang-Undang
Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal, adapun isi Undang-Undang
tersebut yang berkaitan dengan CSR, yaitu:
Pada
pasal 74 di Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007, berbunyi:
1)
Perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang dan/atau berkaitan
dengan sumber daya alam wajib melaksanakan Tanggung Jawab Sosial dan
Lingkungan.
2) Tanggung
Jawab Sosial dan Lingkungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan
kewajiban Perseroan yang dianggarkan dan diperhitungkan sebagai biaya Perseroan
yang pelaksanaannya dilakukan dengan memperhatikan kepatutan dan kewajaran.
3) Perseroan
yang tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenai
sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
4) Ketentuan
lebih lanjut mengenai Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan diatur dengan
Peraturan Pemerintah.
Sedangkan
pada pasal 25 (b) Undang – Undang Penanaman Modal menyatakan kepada setiap
penanam modal wajib melaksanakan tanggung jawab sosial perusahaan.Dari kedua
pasal diatas dapat kita lihat bagaimana pemerintah Indonesia berusaha untuk
mengatur kewajiban pelaksanaan CSR oleh perusahaan atau penanam modal.Definisi
CSR menurut World Business Council on Sustainable
Development adalah komitmen dari bisnis/perusahaan untuk
berperilaku etis dan berkontribusi terhadap pembangunan ekonomi yang
berkelanjutan, seraya meningkatkan kualitas hidup karyawan dan keluarganya,
komunitas lokal dan masyarakat luas. Wacana Tanggung Jawab Sosial
Perusahaan (Corporate Social Responsibility) yang
kini menjadi isu sentral yang semakin populer dan bahkan ditempatkan pada
posisi yang penting, karena itu kian banyak pula kalangan dunia usaha dan
pihak-pihak terkait mulai merespon wacana ini, tidak sekedar mengikuti tren
tanpa memahami esensi dan manfaatnya.Program CSR merupakan investasi bagi
perusahaan demi pertumbuhan dan keberlanjutan (sustainability) perusahaan
dan bukan lagi dilihat sebagai sarana biaya (cost centre) melainkan
sebagai sarana meraih keuntungan (profit centre). Program CSR
merupakan komitmen perusahaan untuk mendukung terciptanya pembangunan
berkelanjutan (sustainable development). Disisi
lain masyarakat mempertanyakan apakah perusahaan yang berorientasi pada usaha
memaksimalisasi keuntungan-keuntungan ekonomis memiliki komitmen moral untuk
mendistribusi keuntungan-keuntungannya membangun masyarakat lokal, karena
seiring waktu masyarakat tak sekedar menuntut perusahaan untuk menyediakan
barang dan jasa yang diperlukan, melainkan juga menuntut untuk bertanggung
jawab sosial.Penerapan program CSR merupakan salah satu bentuk implementasi
dari konsep tata kelola perusahaan yang baik (Good Coporate Governance). Diperlukan
tata kelola perusahaan yang baik (Good Corporate Governance) agar
perilaku pelaku bisnis mempunyai arahan yang bisa dirujuk dengan mengatur
hubungan seluruh kepentingan pemangku kepentingan (stakeholders) yang
dapat dipenuhi secara proporsional, mencegah kesalahan-kesalahan signifikan
dalam strategi korporasi dan memastikan kesalahan-kesalahan yang terjadi dapat
diperbaiki dengan segera.Dengan pemahaman tersebut, maka pada dasarnya CSR
memiliki fungsi atau peran strategis bagi perusahaan, yaitu sebagai bagian dari
manajemen risiko khususnya dalam membentuk katup pengaman sosial (social
security). Selain itu melalui CSR perusahaan juga
dapat membangun reputasinya, seperti meningkatkan citra perusahaan maupun
pemegang sahamnya, posisi merek perusahaan, maupun bidang usaha
perusahaan.Dalam hal ini perlu ditegaskan bahwa CSR berbeda dengan charity atau
sumbangan sosial. CSR harus dijalankan di atas suatu program dengan
memerhatikan kebutuhan dan keberlanjutan program dalam jangka panjang.
Sementara sumbangan sosial lebih bersifat sesaat dan berdampak sementara.
Semangat CSR diharapkan dapat mampu membantu menciptakan keseimbangan
antara perusahaan, masyarakat dan lingkungan. Pada dasarnya tanggung jawab
sosial perusahaan ini diharapkan dapat kembali menjadi budaya bagi bangsa
Indonesia khususnya, dan masyarakat dunia dalam kebersamaan mengatasi masalah
sosial dan lingkungan.Keputusan manajemen perusahaan untuk melaksanakan
program-program CSR secara berkelanjutan, pada dasarnya merupakan keputusan
yang rasional. Sebab implementasi program-program CSR akan menimbulkan efek
lingkaran emas yang akan dinikmati oleh perusahaan dan seluruh stakeholder-nya.
Melalui CSR, kesejahteraan dan kehidupan sosial ekonomi masyarakat lokal maupun
masyarakat luas akan lebih terjamin. Kondisi ini pada gilirannya akan menjamin
kelancaran seluruh proses atau aktivitas produksi perusahaan serta pemasaran
hasil-hasil produksi perusahaan. Sedangkan terjaganya kelestarian lingkungan
dan alam selain menjamin kelancaran proses produksi juga menjamin ketersediaan
pasokan bahan baku produksi yang diambil dari alam.Bila CSR benar-benar
dijalankan secara efektif maka dapat memperkuat atau meningkatkan akumulasi
modal sosial dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Modal sosial,
termasuk elemen-elemennya seperti kepercayaan, kohesifitas, altruisme, gotong
royong, jaringan dan kolaborasi sosial memiliki pengaruh yang besar terhadap
pertumbuhan ekonomi. Melalui beragam mekanismenya, modal sosial dapat
meningkatkan rasa tanggung jawab terhadap kepentingan publik, meluasnya partisipasi
dalam proses demokrasi, menguatnya keserasian masyarakat dan menurunnya tingkat
kekerasan dan kejahatan.Tanggung jawab perusahaan terhadap kepentingan publik
dapat diwujudkan melalui pelaksanaan program-program CSR yang berkelanjutan dan
menyentuh langsung aspek-aspek kehidupan masyarakat. Dengan demikian realisasi
program-program CSR merupakan sumbangan perusahaan secara tidak langsung
terhadap penguatan modal sosial secara keseluruhan. Berbeda halnya dengan modal
finansial yang dapat dihitung nilainya kuantitatif, maka modal sosial
tidak dapat dihitung nilainya secara pasti. Namun demikian, dapat ditegaskan
bahwa pengeluaran biaya untuk program-program CSR merupakan investasi
perusahaan untuk memupuk modal sosial. Membicarakan Corporate Social Responsibility
(CSR) atau dikenal dengan tanggung jawab sosial perusahaan menarik ketika
diperhadapkan pada harapan masyarakat dengan kenyataan lingkungan yang terjadi.
CSR sering menjadi “kampanye” dikalangan perusahaan. Tanggung jawab perusahaan
ini dilakukan dalam rangka memberi kompesensasi bagi masyarakat yang terkena
dampak dari suatu kegiatan dengan tujuannya agar masyarakat lokal mempunyai
kehidupan yang lebih baik dari sebelumnya. Perusahaan sebagaimana biasanya akan
begitu bersemangat menyajikan angka-angka rupiah dan bangunan fisik serta telah
menjadi dewa penolong bagi masyarakat lokal. Ironisnya, kampanye tersebut tidak
ditanggapi secara kritis oleh stakeholders, bahwa CSR telah sesuai tujuannya?
Kalau ada yang “bersuara” dipastikan hanya kalangan aktivis LSM dengan
mengemukakan berbagai indikator eko-sosial yang kemudian melahirkan tesis
“belum ada satupun tambang di Indonesia yang membuat masyarakat sejahtera”.
Belum lagi dengan berbagai kasus pencemaran, kerusakan sistem hidrologi
lingkungan dan ketidakadilan sosial ekonomi antara masyarakat lokal dan
pendatang serta penyakit sosial seperti prostitusi, perjudian, dan minuman
keras.
Kerusakan
lingkungan dilaporkan muncul dari Kabupaten Aceh Besar, yaitu rusaknya aliran
Sungai Krueng Aceh dan hancurnya 10 perbukitan yang akan memicu krisis air
bersih akibat eksploitasi bahan galian C.Contoh masalah dalam pertambangan di
Aceh Besar,yaitu ada tiga lokasi yang disoroti akibat dampak buruk lingkungan
dan sosial yang ditimbulkannya. Ketiga lokasi itu adalah tambang pasir besi di
Lampanah, Seulimeum, tambang galian C di Daerah Aliran Sungai Krueng Aceh, dan
tambang bijih besi di Lhoong oleh PT Lhoong Setia Mining.
DAFTAR PUSTAKA